Rabu, 03 November 2010

Manusia dan Alam Dalam Perspektif Islam; Konsep Khalifah

Pada semester 3 ini saya mendapatkan mata kuliah yang sangat menarik, yaitu Analisis Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (ASDAL). Kuliah ini sungguh membuka pikiran kita bahwa sangat-sangatlah penting untuk membuat pembangunan yang berkelanjutan, yaitu pembangunan yang turut memperhatikan aspek lingkungan. Karena sampai saat ini, pembangunan yang dilakukan selalu menyebabkan dampak buruk bagi alam. Jadi tidak heran jika terjadi banyak kerusakan di muka bumi dan bumi hampir tidak dapat menjadi tempat yang layak huni bagi manusia.


Dalam suatu sesi perkuliahan, disampaikanlah pada kami bahwa ada hal sepele yang sering terlupakan namun sangat besar pengaruhnya terhadap kerusakan alam, yaitu pengaruh sudut pandang manusia. Dalam mata kuliah ini, sudut pandang manusia dibagi menjadi dua, yaitu konvensional dan green.


Konvensional berisikan pandangan-pandangan yang menjadikan manusia sebagai pusat (Antroposentris) sehingga alam hanya dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi bagi kepentingan manusia. Beberapa contoh pemikirankonvensional adalah manusia dan alam terpisah, alam didominasi untuk kepentingan manusia, manusialah yang bebas menentukan nilai dari alam, dan sebagainya (kepercayaan yang tinggi terhadap teknologi masuk dalam cara pandang ini). sedangkan pandangan green merupakan pandangan para "pecinta lingkungan". Contohnya manusia adalah bagian dari alam, manusia harus menghargai dan melindungi alam, manusia harus tunduk pada hukum alam, dan pandangan pro lingkungan lainnya.


Akhirnya di tengah sesi kuliah timbul pertanyaan yang cukup menggelitik, dimanakah pandangan islam yang menjadikan manusia sebagai khalifah atau pengelola di muka bumi? Konvensional kah, atau green? Pertanyaan yang muncul dari sang dosen, saat itu kami tanggapi dengan sewajarnya, yaitu keheningan (ini adalah tanggapan lumrah para pelajar masa kini... he) .


Karena merasa tak sempat jika diungkapkan dalam kelas - alasan klise sebetulnya - saya mencoba untuk mengungkapkan pendapat singkat saya dalam tulisan ini.


Kita mulai dari tujuan hidup manusia itu sendiri. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah (Q.S Addzariyat: 56). Lebih jauh lagi, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah yang mengemban amanat Allah di muka bumi (Q.S Albaqarah: 30). Lalu apa sebetulnya pengertian khalifah dan keterkaitannya dengan alam?


Khalifah adalah pengemban amanat Allah. Ia adalah kepercayaan Allah di alam ini. Manusia sebagai makhluk Allah yang diberi kemuliaan dan keutamaan berupa akal mendapat kepercayaan dari Allah untuk mengelola alam sesuai dengan petunjukNya agar dimanfaatkan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak dalam rangka mengabdi kepada Allah (Q.S Al-isra: 70). Tugas khalifah adalah untuk memakmurkan bumi dengan 'ulumul hindasah seperti geometri, ilmu ukur, dan ilmu-ilmu eksakta lainnya (Q.S. AL-A'raf: 74). Untuk mengemban amanah itulah manusia diberikan modal berupa kekuatan ilmu dan fisik (Q.S. Al-A'raf: 69 dan Q.S. Al-Baqarah: 247).


Tidak dapat dipungkiri bahwa alam ini diciptakan oleh Allah untuk memenuhi keperluan hidup manusia, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hijr ayat 20. Selain itu Allah juga sering mengingatkan manusia untuk meraih kebahagiaan akhirat tanpa melupakan bagian dunia (Q.S. Al-Qasas: 77). Namun Allah pun selalu mengingatkan kita akan kebesaranNya. Sehebat apapun kita, tetap ada sisi dimana hanya Allahlah yang bisa menentukan siklus kehidupan. Manusia tidak bisa turut andil dalam hal ini, contohnya adalah peristiwa siklus hidrologi termasuk terbentuknya air tanah (Q.S. Al-Hijr: 20). Lebih jauh lagi, Sang pencipta alam ini tidak jarang mengingatkan manusia untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi, hal ini antara lain tertuang dalam surah Al-Qasas ayat 77, Al-baqarah ayat 11, dan masih banyak lagi.


Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kita dapat ambil kesimpulan bahwa dalam islam alam ini diciptakan untuk manusia kelola. Sehingga secara tidak langsung, manusia dan alam adalah sesuatu yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Alam ini dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk itu sang Khalik memberikan modal kepada manusia berupa ilmu (pengembangan teknologi). Kalau hanya dari sisi ini, mungkin bisa kita katakan bahwa Islam=Konvensional.


Namun Islam tidak serta - merta dapat disamakan begitu saja. Kita harus ingat bahwa Allah telah berfirman mengenai adanya batasan ilmu manusia dalam mengelola alam ini. Sehingga manusia tidak akan bisa selamanya mengandalkan teknologi. Selain itu Allah juga mengecam orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Pandangan - pandangan inilah yang membuat Islam juga memiliki pemikiran yang sama dengan Green.


Dengan demikian, pandangan Islam tentang posisi manusia dengan alam bukanlah Konvensional maupun Green. Islam memiliki cara pandang tersendiri. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa konsep khalifah dalam Islam adalah manusia yang mengemban amanat Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan petunjukNya, yaitu Al-Quran. Sadarilah bahwa kerusakan di muka bumi ini disebabkan manusia telah jauh dari petunjukNya. So, let's back to Quran! Jadikanlah Quran sebagai pedoman hidup dalam SELURUH aktifitas kita.


Selasa, 11 Mei 2010

Realita Sistem Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Nasional

Pendahuluan

Pendidikan merupakan aspek pokok bagi kehidupan suatu bangsa. kondisi bangsa di masa datang, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui suatu proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Sebaliknya proses pendidikan yang tidak terarah, hanya akan menyita waktu, tenaga, serta dana tanpa ada hasil. Dengan demikian sistem pendidikan sebagai implementasi pendidikan nasional sangat menentukan maju mundurnya bangsa ini.

Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun sampai saat ini tujuan pendidikan nasional tersebut belum tercapai, salah satunya aspek kemandirian. Berdasarkan data survey tenaga kerja nasional 2009 yang dikeluarkan Bappenas, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta atau 22,2 % menganggur. Yang lebih mengejutkan lagi pengangguran didominasi oleh lulusan diploma dan perguruan tinggi dengan kisaran diatas 2 juta orang. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan kita dalam menciptakan individu yang mandiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Fakta diatas menunjukkan bahwa Pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia tidak memenuhi definisi pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengenai pengembangan potensi diri serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik. Ketidaksesuaian antara sistem dengan definisi UU inilah yang menyebabkan tujuan dari pendidikan nasional tidak tercapai. Bila ini dibiarkan terus berlarut-larut, tentunya akan menghambat perkembangan bangsa ini. Sehingga penting bagi kita untuk menyadari akan kekeliruan sistem pendidikan Indonesia.

Realita Sistem Pendidikan Nasional

Disadari atau tidak, sistem pendidikan di negara kita masih mengedepankan segi kognitif. Penghargaan bagi anak yang pintar di bidang matematika lebih tinggi daripada anak yang berprestasi di bidang lain seperti olahraga dan seni. Perbedaan perlakuan ini, akan menyebabkan sang anak merasa bahwa potensinya kurang dihargai. Sehingga ia mulai mencoba bidang yang sebetulnya kurang ia minati. Dengan berjalannya waktu, maka potensi dan bakat yang ada pada dirinya tidak terasah dan tidak akan berguna.

Pelajaran yang terus menerus melatih kognitif ini, diperparah dengan penanaman soft skills yang rendah. Kurangnya soft skills, meyebabkan mayoritas lulusan pendidikan kita tidak dapat bersaing dengan lulusan pendidikan luar negeri. Menurut Sudino dalam Latief (2010), Berdasarkan kemampuan teknis sesuai bidang akademis masing-masing, lulusan perguruan tinggi Indonesia memang tidak kalah, bahkan berani diadu. Namun, justru hal-hal nonteknis, seperti kemampuan berbicara di depan orang banyak, rasa percaya diri, dan interaksi terhadap perubahan dengan cepat, lulusan kita masih payah.

Sistem pendidikan kita juga cenderung menyamaratakan kemampuan anak. Padahal setiap anak memiliki daya serap yang berbeda. Selain itu, setiap individu memiliki tipe tersendiri dalam memahami sesuatu. Ada yang lebih cepat dengan mendengar, melihat, dan melakukan sendiri. Jika terus menerus disamaratakan, akan timbul rasa kurang percaya diri pada anak yang tidak cocok dengan sistem pengajaran guru. Bahkan sang anak bisa menganggap dirinya bodoh.

Sistem kelulusan melalui Ujian Nasional (UN) juga sangat kontroversial. Banyak siswa berprestasi yang tidak lulus UN. Seperti kasus yang baru saja terjadi pada tahun 2009 di Sulawesi, ketika 2 siswa yang berhasil mengharumkan nama sekolahnya di tingkat provinsi dalam bidang pencak silat dan voli, gagal lulus UN. Sedangkan anak-anak yang dalam kesehariannya biasa-biasa saja, tidak jarang yang mendapatkan nilai UN yang tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa UN tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kelulusan peserta didik.

Selain itu dengan sistem UN, terkesan terjadi robotisasi pendidikan. Para siswa terbiasa mengejar nilai-nilai semu. Pembelajaran yang dilakukanpun akhirnya hanya mengarah untuk meyelesaikan soal. Tidak ada proses belajar yang menyebabkan siswa berfikir kreatif dan aktif. Siswa menuruti apa saja yang diberikan oleh guru. Bahkan guru yang mencoba tampil beda untuk mendesain pembelajaran yang lebih inovatif dan kreatif tidak mendapatkan ruang. Melalui instruksinya, para pengambil kebijakan memosisikan guru sebagai “tukang sulap” yang harus menjadikan para siswa didik sebagai penghafal kelas satu yang bisa dengan jitu menjawab soal-soal PG dalam UN.

Jika hal ini terus berlanjut, bukan mustahil jika lulusan pendidikan kita akan mengalami pengerdilan kecerdasan. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan harapan. Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai UN selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang seringkali terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik dibandingkan siswa berprestasi menonjol dan berotak brilian (Tuhusetya, 2010).

Selain fakta-fakta tersebut, kekacauan sistem pendidikan Indonesia tidak terlepas dari sering bergantinya kurikulum. Terkadang tujuan dari satu kurikulum belum tercapai, sudah ada kurikulum pengganti yang lain. Hal ini terjadi seiring dengan bergantinya presiden dan menteri. Padahal pendidikan bukanlah milik presiden beserta jajarannya. Harus ada sebuah keberlanjutan dari program menteri terdahulu dengan menteri yang akan menjabat. Sehingga tercapai sebuah kesinambungan antar kepengurusan.

Upaya Pemerintah dalam meningkatkan mutu Pendidikan

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah telah berusaha memberikan yang terbaik melalui sistem pendidikan yang disusun. Kurikulum yang dibuat, dimaksudkan untuk mendapatkan formula jitu agar dapat menciptakan SDM yang berkualitas.

Program UN pun dibuat untuk mendapatkan lulusan dengan tingkat intelektualitas yang baik. Program ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga ada peningkatan yang dilakukan baik dari pihak pemerintah, maupun dari pihak sekolah untuk menciptakan individu berkualitas.

Namun niat-niat baik tersebut memiliki banyak kekurangan. Pergantian kurikulum seringkali tidak melihat kesesuaian di lapangan. Hal ini tidak diimbangi dengan penyosialisasian yang baik. Apa yang dimaksud oleh pemerintah tidak tersampaikan dengan baik kepada pendidik. Bahkan banyak guru yang berpendapat, bahwa pembuat kebijakan tidak merasakan langsung proses pendidikan di kelas. Sehingga perumusan yang dilakukan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, kelulusan dengan UN hanya melihat aspek kognitif. UN terkesan mengesampingkan anak-anak yang kurang berpotensi dalam bidang akademik. Lebih parah lagi, UN dijadikan sarana untuk mendongkrak citra sekolah.

Imbas negatif yang muncul dari atmosfer pendidikan yang salah urus semacam itu adalah merebaknya kecurangan massal dalam pelaksanaan UN dari tahun ke tahun dalam upaya memburu citra sekolah. Agar mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan citra bagus dari atasan dan masyarakat, sekolah cenderung menghalalkan segala cara untuk mendongkrak jumlah lulusan dan rata-rata nilai UN; entah dengan membocorkan kunci jawaban, bekerjasama dengan pengawas UN, atau cara-cara curang yang seharusnya tabu dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan.

Selain itu, tidak tercapainya tujuan pendidikan nasional juga dipengaruhi kegagalan sistem pendidikan kita dalam mengembangkan potensi peserta didik. Sistem pendidikan kita tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan potensi dan hobinya. Banyak bakat anak-anak yang tidak dapat tersalurkan sehingga bakat tersebut mengendap.

Kesimpulan

Bagaimanapun juga, berhasil atau tidaknya sebuah sistem pendidikan harus berdasarkan pada tolak ukur yang jelas. Aspek pertimbangan yang baik tentunya adalah tujuan pendidikan nasional itu sendiri yang telah tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Dimana ada aspek kemandirian dan keterampilan di dalamnya. Dengan demikian sistem pendidikan yang baik, harus mampu menciptakan individu yang mandiri serta terampil.

Dengan demikian tujuan tersebut belum mampu dicapai sistem pendidikan kita. Hal ini tercermin dari fakta yang telah saya paparkan. Masalah ini harus ditanggapi dengan serius. Karena akan muncul paradigma bahwa proses pendidikan hanya akan membuang waktu dan dana tanpa ada hasil. Jika terus berlarut, akan ada banyak pihak yang tidak percaya terhadap sistem pendidikan yang dibuat pemerintah.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa belum tercapainya tujuan pendidikan bangsa ini disebabkan oleh pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memenuhi definisi pendidikan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengenai pengembangan potensi diri serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik. Masalah ini harus segera dituntaskan untuk kebaikan bangsa ini kedepannya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan alternatif yang kreatif agar mampu melaksanakan pendidikan sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Sehingga pendidikan bangsa ini dapat mencetak generasi-generasi berkualitas yang dapat memajukan bangsa ini.

Jejak Kesuksesan

Pada kesempatan ini, saya akan menceritakan pengalaman saya. Mungkin bukan sebuah pengalaman yang spektakuler. Namun banyak inspirasi yang saya dapatkan dari pengalaman ini.
Semua berawal dari sebuah mahfudzot (yang sering kita sebut dengan kata mutiara), “Man Jadda Wa Jada”. Ya inilah pepatah arab yang sangat menginspirasi saya. Artinya kurang lebih “barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia”. Pepatah yang juga bermakna “where there is a will, there is a way”.
Mungkin terkesan sederhana dan biasa saja. Namun pepatah inilah yang turut meningkatkan semangat saya untuk bercita-cita dan serius menggapainya.
Ketika duduk di kelas 2 SMA, saya mencoba menyusun target-target saya sampai satu tahun ke depan (ketika itu tepat sampai saya lulus SMA). Mulai dari juara lomba-lomba, menghafal 2 juz Al-Quran, sampai berkuliah di ITB. Sebetulnya saat itu bukan pertama kalinya saya menargetkan sesuatu. Namun kali ini ada perbedaan semangat dan metode untuk menggapainya. Hal ini saya dapatkan setelah membaca sebuah buku (saya lupa judul dan penulisnya) dan pesan dari orang tua saya. Dari mereka saya mendapat pelajaran bahwa untuk merealisasikan target, mimpi, dan cita-cita, kita harus “menuliskannya”.
Bermodal dari pengetahuan tersebut, saya menulis seluruh target tersebut di kertas dan menempelkannya di tempat yang selalu terlihat oleh saya. Tak lupa saya bubuhkan pepatah tersebut di dalamnya. Dengan demikian, tak bisa dihindari saya selalu melihat target-target tersebut.
Hal ini membuat aktivitas saya menjadi terarah. Saya mulai mengerahkan kemampuan saya untuk merealisasikan tulisan-tulisan itu. Ikhtiar yang optimal ini tidak lupa saya barengi dengan doa. Ketika motivasi mulai turun karena hambatan-hambatan , maka doa dan kalimat “Man Jadda wa Jada” menjadi sumber samangat baru. Selain itu rasa kedekatan kepada Allah dan tulisan-tulisan yang terus membayangi turut menjadi faktor hingga akhirnya saya terus bertahan dan konsisten dalam mengejar target-target.
Tak terasa bulan telah berganti bulan, setelah lulus SMA terjadi hal yang sangat mengejutkan. Ternyata “seluruh” target yang saya tulis tercapai. Tulisan-tulisan itu tidak lagi menjadi impian. Bahkan cita-cita untuk berkuliah di ITB yang saya rasa sangat sulit bahkan cenderung tidak mungkin, juga tercapai. Bukannya berlebihan, tapi memang sampai saat itu dari SMA saya baru angkatan sayalah yang beruntung bisa menembus ITB. Seluruh kelelahan perjuangan terasa menguap begitu saja.
Belajar dari pengalaman tersebut, kebiasaan menulis target terus saya pertahankan sampai saat ini. Kali ini dengan target yang lebih banyak dan besar. Alhamdulillah dalam 6 bulan ini sudah ada target yang tercapai. Namun tidak seperti kertas terdahulu, kini ada target yang tidak tercapai.
Hal ini semakin membuat saya sadar bahwa bagaimanapun kerasnya usaha kita, Allah jugalah yang akan memutuskan. Yang tak kalah penting lagi, satu hal yang membuat saya tidak pernah kecewa dengan apapun hasil yang didapat adalah prinsip bahwa “yang baik menurut kita belum tentu baik di sisi Allah dan yang buruk menurut kita belum tentu buruk di sisi Allah”. Jika kita telah berusaha seoptimal mungkin, maka yakinlah bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita. Terbaik tidak selalu mengindikasikan tercapainya target, namun yakinilah bahwa apapun hasilnya Allah pasti memiliki rencana indah yang tidak terduga untuk kita.
Oleh karena itu kejarlah seluruh impian, cita-cita, dan target kita seoptimal mungkin. Ubahlah impian-impian itu menjadi kenyataan dan buatlah “tulisan” yang akan menjadi saksi sekaligus jejak kesuksesan kita. Namun jangan lupa setelah berdoa dan berusaha, bertawakallah dan serahkan seluruh keputusan pada Allah swt.

“MAN JADDA WA JADA”

Senin, 08 Februari 2010

Diriku dan Kemahasiswaan dalam Satu Semester di ITB

Dari sekian banyak pelajaran yang telah saya dapatkan selama mengikuti bridging BIUS, salah satu hal yang sangat berkesan adalah mengenai pentingnya meningkatkan soft skills. Berangkat dari pengetahuan ini, maka saya mencoba untuk turut berperan serta dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus. Baik organisasi maupun kepanitiaan, dengan harapan tidak hanya soft skills, melainkan jiwa sosial dan kepedulian saya semakin terpupuk. Namun setelah beberapa bulan berselang, ternyata tidak banyak kemajuan dan manfaat yang saya dapatkan. Saya merasa belum mampu memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki, sehingga belum banyak kontribusi yang bisa saya berikan.

Hambatan dalam Kegiatan Kemahasiswaan dan Ideologi

“Kegiatan Kemahasiswaan”, ya Inilah salah satu bahan refleksi saya di semester satu. Awalnya, sebagai mantan “aktivis” di SMA, saya pikir akan mudah untuk menyeimbangkan antara kegiatan perkuliahan dengan non perkuliahan. Namun saya dikejutkan dengan jauhnya perbedaan antara aktivitas organisasi di SMA dengan di perguruan tinggi, baik dari segi intensifitas maupun sistemnya. Diperlukan loyalitas dan keseriusan dalam melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan. Tidak ada lagi dispensasi untuk kegiatan-kegiatan non akademis seperti di SMA. Jadi, tidak jarang saya harus berpikir “ekstra” untuk menetapkan pilihan. Ikut kegiatan berarti “bolos” kuliah. Sebaliknya, memilih kuliah maka akan banyak pengalaman berharga yang saya lewatkan.

Selain itu, kegiatan organisasi di kampus sudah mengarah pada perjuangan ideologi. Terkadang dalam sebuah perkumpulan saya harus dihadapkan dengan teman-teman yang memiliki pandangan berbeda. Akhirnya saya memutuskan untuk menarik diri dari perkumpulan tersebut demi mempertahankan ideologi saya. Inilah tindakan yang tidak akan pernah saya sesali, bahkan sangat saya banggakan. Tentunya hal ini juga akan saya jadikan refleksi untuk menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat dan tidak terprediksi.

Kurang Maksimal

Berkaitan dengan kurang maksimalnya saya dalam berorganisasi, banyak faktor yang menjadi penghambat, baik itu dari dalam diri sendiri, maupun faktor dari luar. Saat ini saya berada dalam sebuah organisasi kampus yang menuntut wawasan luas dan kepekaan yang tinggi terhadap informasi dari lingkungan sekitar. Ironinya hal ini tidak diimbangi dengan kemauan saya untuk membaca buku-buku sebagai bahan penambah wawasan. Terlebih lagi, tidak adanya media seperti TV, koran, dan radio yang menyebabkan saya sering tertinggal informasi dan belum maksimal di organisasi tersebut.

Terlepas dari hambatan-hambatan dan masalah organisasi tersebut, mungkin kunci pemasalahan saya di semester satu adalah paradigma berpikir saya yang masih memprioritaskan IP. Paradigma tersebut diperparah dengan pengaturan waktu yang masih berantakan. Selama di semester ini, masih banyak waktu yang terbuang sia-sia. Selain itu, saya belum bisa mendisiplinkan diri. Masih banyak penundaan pekerjaan kuliah yang akhirnya mengakibatkan menumpuknya tugas. Sehingga sisa waktu yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan lain, tersita hanya untuk mengerjakan tugas.

Akhir sebuah renungan

Itulah sebagian kecil refleksi saya di semester ini. Tidak hanya kemahasiswaan, namun banyak aspek lain yang tidak bisa saya ceritakan semua. Tentunya harus ada tindakan lanjut sebagai bentuk perbaikan atas introspeksi ini. Mulai dari lebih mendisiplinkan diri, peka terhadap informasi, memanage waktu dengan baik , sampai pada memulai untuk banyak membaca. Semua harus saya mulai dari kesungguhan yang kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena ada pepatah arab yang menyatakan “barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia”. Selain itu, saya harap apa yang saya tanam dan lakukan saat ini, dapat bermanfaat untuk ummat dan bangsa.

Jika bukan generasi muda bangsa ini lalu siapa lagi? “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubahnya sendiri” (QS. Ar ra’ad : 11)

Minggu, 07 Februari 2010

Sayembara Desain Gedung ITB



Mulai tahun 2010 ITB berencana membangun 4 gedung baru dengan ketinggian bangunan hingga 10 lantai. Keempat bangunan tersebut akan didirikan di dalam lingkungan bersejarah Kampus Ganesha di bagian utara yang akan didanai sebagian oleh pinjaman dari the Japan International Cooperation Agency (JICA) dan sebagian oleh Pemerintah Indonesia.

Dalam rangka menyediakan fasilitas-fasilitas baru dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini, ITB bermaksud untuk mengundang para arsitek terbaik Indonesia untuk menunjukkan talenta kreatif dan motivasi mereka dalam sayembara desain arsitektur berskala nasional ini.

Tujuan dari sayembara ini adalah untuk mendapatkan rancangan skematik arsitektural terbaik untuk keempat gedung serta desain ulang Gerbang Utara Kampus ITB. Desain skematik tersebut pada tahun 2010 akan dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk dokumen teknik yang akan digunakan dalam proses konstruksi.

Sayembara ini telah disusun dalam sebuah rangkaian jadwal. Antara lain pendaftaran on-line dapat dilakukan mulai tanggal11 Januari 2010 sampai 8 Februari 2010, pengumpulan rancangan gedung untuk paket 1 tanggal 15 Februari 2010 dan untuk paket 2 tanggal 22 Februari 2010, pengumuman pemenang dan penyerahan hadiah dilaksanakan pada tanggal 8 Maret 2010 yang kemudian dilanjutkan dengan proses pengembanagan desain awal pasca sayembara pada tanggal 8 Maret - Juli 2010.

Sayembara dibagi menjadi dua paket. Yakni sayembara paket 1 dan sayembara paket 2. Sayembara paket 1 terdiri dari usulan desain awal (Preliminary Design) dari tiga buah gedung dan desain ulang Gerbang Utara Kampus ITB. Gedung pertama adalah Gedung Center for Advanced Studies (CAS) yang akan berlokasi di sebelah timur Perpustakaan Pusat ITB. Di dalam gedung ini terdapat beberapa laboratorium sains tingkat lanjut, yang akan menjadi sarana penelitian sains terdepan yang akan digunakan oleh peneliti dari berbagai program studi dari dalam maupun dari luar ITB.


Gambar 1. Lahan CAS, dilihat dari arah timur.

Gedung kedua adalah Gedung Center for Research and Community Services (CRCS). Gedung ini akan berlokasi di timur laut kampus, dimana saat ini terletak kantor LAPI ITB dan Puslog ITB yang akan dibongkar sebelum konstruksi dimulai. Di dalam gedung ini akan terdapat beberapa ruang kantor dan ruang pertemuan dari berbagai organisasi yang terdapat di ITB yang berkaitan dengan riset dan pelayanan masyarakat.


Gambar 2. Lahan CRCS, dilihat dari arah barat daya. Gedung yang ada akan dibongkar sebelum konstruksi.


Gedung ketiga yang merupakan bagian dari paket 1 adalah Gedung Center for Arts, Design and Language (CADL) yang akan berlokasi di sebelah barat Gedung PAU, dimana saat ini terdapat sebuah Gedung Serba Guna (GSG) sementara. GSG ini akan dibongkar sebelum pelaksanaan konstruksi. Gedung CADL akan diisi dengan fasilitas-fasilitas baru untuk Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) dan untuk Pusat Bahasa ITB.


Gambar 3. Lahan CADL, dilihat dari arah utara. Gedung GSG akan dibongkar sebelum konstruksi.


Tiap gedung harus memiliki tempat parkir pada level dasar.

Sayembara Paket 2 terdiri atas perancangan satu Gedung Center for Infrastructure and Built Environment (CIBE). Gedung ini akan dibangun di sebelah barat Gedung Program Studi Fisika dan Program Studi Teknik Sipil, dan sebelah utara dari Gedung Basic Science. Gedung CIBE ini akan diisi dengan fasilitas laboratorium dan kantor untuk Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB.

map ITB
Gambar 4. Lahan CIBE, dilihat dari arah timur laut. Gedung yang ada akan dibongkar sebelum konstruksi.

Sayembara Desain ITB ini terbuka bagi seluruh arsitek berwarga negara Indonesia baik secara individu maupun tim yang bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar negeri dengan membayar biaya pendaftaran sejumlah Rp. 300.000,00 untuk sayembara Paket 1 dan Rp. 200.000,00 untuk sayembara Paket 2.. Bagi peserta tim, setidaknya dua orang anggota tim memiliki gelar setingkat Sarjana Teknik di bidang arsitektur. Juri, konsultan teknik, panitia sayembara beserta pegawai atau anggota keluarganya tidak diperkenankan mengikuti sayembara ini.

ITB telah membentuk tim juri Sayembara Paket 1 dan Paket 2 terdiri dari 5 (lima) anggota yaitu Ir. Endi Subiono, IAI (Ketua Ikatan Arsitek Indonesia), Dr. Ir. Iwan Sudradjat, MSA (Dekan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB), Louise Cox (President of The International Union of Architects), Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, Ph.D., M.Arch., IAI (Dosen Arsitektur Universitas Indonesia) dan Ir. R. Muslinang Moestopo, MSEM, Ph.D (Ahli rekayasa struktur, Staf Ahli Wakil Rektor Bidang Organisasi dan Perencanaan ITB).


Rancangan gedung ini diharapkan memenuhi seluruh prinsip rancangan arsitektur mulai dari memperhatikan isu keberlanjutan sosial, sampai memperhatikan adanya akses untuk penyandang cacat.

Hadiah yang akan diberikan bagi para pemenang sayembara cukup menggiurkan. Untuk sayembara paket 1 telah disediakan uang sebesar Rp 100,000,000 untuk juara 1, Rp 30,000,000 untuk juara 2 dan Rp 20,000,000 juara 3. Untuk sayembara paket 2 telah disediakan uang sebesar Rp 60,000,000 untuk juara 1, Rp 20,000,000 untuk juara 2 dan Rp 10,000,000 juara 3. Jumlah uang tersebut belum dipotong pajak. (sumber www.jica-project.itb.ac.id/sayembara)