Selasa, 11 Mei 2010

Realita Sistem Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Nasional

Pendahuluan

Pendidikan merupakan aspek pokok bagi kehidupan suatu bangsa. kondisi bangsa di masa datang, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masyarakatnya yang terbentuk melalui suatu proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Sebaliknya proses pendidikan yang tidak terarah, hanya akan menyita waktu, tenaga, serta dana tanpa ada hasil. Dengan demikian sistem pendidikan sebagai implementasi pendidikan nasional sangat menentukan maju mundurnya bangsa ini.

Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun sampai saat ini tujuan pendidikan nasional tersebut belum tercapai, salah satunya aspek kemandirian. Berdasarkan data survey tenaga kerja nasional 2009 yang dikeluarkan Bappenas, dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta atau 22,2 % menganggur. Yang lebih mengejutkan lagi pengangguran didominasi oleh lulusan diploma dan perguruan tinggi dengan kisaran diatas 2 juta orang. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan kita dalam menciptakan individu yang mandiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Fakta diatas menunjukkan bahwa Pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia tidak memenuhi definisi pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengenai pengembangan potensi diri serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik. Ketidaksesuaian antara sistem dengan definisi UU inilah yang menyebabkan tujuan dari pendidikan nasional tidak tercapai. Bila ini dibiarkan terus berlarut-larut, tentunya akan menghambat perkembangan bangsa ini. Sehingga penting bagi kita untuk menyadari akan kekeliruan sistem pendidikan Indonesia.

Realita Sistem Pendidikan Nasional

Disadari atau tidak, sistem pendidikan di negara kita masih mengedepankan segi kognitif. Penghargaan bagi anak yang pintar di bidang matematika lebih tinggi daripada anak yang berprestasi di bidang lain seperti olahraga dan seni. Perbedaan perlakuan ini, akan menyebabkan sang anak merasa bahwa potensinya kurang dihargai. Sehingga ia mulai mencoba bidang yang sebetulnya kurang ia minati. Dengan berjalannya waktu, maka potensi dan bakat yang ada pada dirinya tidak terasah dan tidak akan berguna.

Pelajaran yang terus menerus melatih kognitif ini, diperparah dengan penanaman soft skills yang rendah. Kurangnya soft skills, meyebabkan mayoritas lulusan pendidikan kita tidak dapat bersaing dengan lulusan pendidikan luar negeri. Menurut Sudino dalam Latief (2010), Berdasarkan kemampuan teknis sesuai bidang akademis masing-masing, lulusan perguruan tinggi Indonesia memang tidak kalah, bahkan berani diadu. Namun, justru hal-hal nonteknis, seperti kemampuan berbicara di depan orang banyak, rasa percaya diri, dan interaksi terhadap perubahan dengan cepat, lulusan kita masih payah.

Sistem pendidikan kita juga cenderung menyamaratakan kemampuan anak. Padahal setiap anak memiliki daya serap yang berbeda. Selain itu, setiap individu memiliki tipe tersendiri dalam memahami sesuatu. Ada yang lebih cepat dengan mendengar, melihat, dan melakukan sendiri. Jika terus menerus disamaratakan, akan timbul rasa kurang percaya diri pada anak yang tidak cocok dengan sistem pengajaran guru. Bahkan sang anak bisa menganggap dirinya bodoh.

Sistem kelulusan melalui Ujian Nasional (UN) juga sangat kontroversial. Banyak siswa berprestasi yang tidak lulus UN. Seperti kasus yang baru saja terjadi pada tahun 2009 di Sulawesi, ketika 2 siswa yang berhasil mengharumkan nama sekolahnya di tingkat provinsi dalam bidang pencak silat dan voli, gagal lulus UN. Sedangkan anak-anak yang dalam kesehariannya biasa-biasa saja, tidak jarang yang mendapatkan nilai UN yang tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa UN tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kelulusan peserta didik.

Selain itu dengan sistem UN, terkesan terjadi robotisasi pendidikan. Para siswa terbiasa mengejar nilai-nilai semu. Pembelajaran yang dilakukanpun akhirnya hanya mengarah untuk meyelesaikan soal. Tidak ada proses belajar yang menyebabkan siswa berfikir kreatif dan aktif. Siswa menuruti apa saja yang diberikan oleh guru. Bahkan guru yang mencoba tampil beda untuk mendesain pembelajaran yang lebih inovatif dan kreatif tidak mendapatkan ruang. Melalui instruksinya, para pengambil kebijakan memosisikan guru sebagai “tukang sulap” yang harus menjadikan para siswa didik sebagai penghafal kelas satu yang bisa dengan jitu menjawab soal-soal PG dalam UN.

Jika hal ini terus berlanjut, bukan mustahil jika lulusan pendidikan kita akan mengalami pengerdilan kecerdasan. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan harapan. Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai UN selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang seringkali terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik dibandingkan siswa berprestasi menonjol dan berotak brilian (Tuhusetya, 2010).

Selain fakta-fakta tersebut, kekacauan sistem pendidikan Indonesia tidak terlepas dari sering bergantinya kurikulum. Terkadang tujuan dari satu kurikulum belum tercapai, sudah ada kurikulum pengganti yang lain. Hal ini terjadi seiring dengan bergantinya presiden dan menteri. Padahal pendidikan bukanlah milik presiden beserta jajarannya. Harus ada sebuah keberlanjutan dari program menteri terdahulu dengan menteri yang akan menjabat. Sehingga tercapai sebuah kesinambungan antar kepengurusan.

Upaya Pemerintah dalam meningkatkan mutu Pendidikan

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah telah berusaha memberikan yang terbaik melalui sistem pendidikan yang disusun. Kurikulum yang dibuat, dimaksudkan untuk mendapatkan formula jitu agar dapat menciptakan SDM yang berkualitas.

Program UN pun dibuat untuk mendapatkan lulusan dengan tingkat intelektualitas yang baik. Program ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga ada peningkatan yang dilakukan baik dari pihak pemerintah, maupun dari pihak sekolah untuk menciptakan individu berkualitas.

Namun niat-niat baik tersebut memiliki banyak kekurangan. Pergantian kurikulum seringkali tidak melihat kesesuaian di lapangan. Hal ini tidak diimbangi dengan penyosialisasian yang baik. Apa yang dimaksud oleh pemerintah tidak tersampaikan dengan baik kepada pendidik. Bahkan banyak guru yang berpendapat, bahwa pembuat kebijakan tidak merasakan langsung proses pendidikan di kelas. Sehingga perumusan yang dilakukan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, kelulusan dengan UN hanya melihat aspek kognitif. UN terkesan mengesampingkan anak-anak yang kurang berpotensi dalam bidang akademik. Lebih parah lagi, UN dijadikan sarana untuk mendongkrak citra sekolah.

Imbas negatif yang muncul dari atmosfer pendidikan yang salah urus semacam itu adalah merebaknya kecurangan massal dalam pelaksanaan UN dari tahun ke tahun dalam upaya memburu citra sekolah. Agar mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan citra bagus dari atasan dan masyarakat, sekolah cenderung menghalalkan segala cara untuk mendongkrak jumlah lulusan dan rata-rata nilai UN; entah dengan membocorkan kunci jawaban, bekerjasama dengan pengawas UN, atau cara-cara curang yang seharusnya tabu dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan.

Selain itu, tidak tercapainya tujuan pendidikan nasional juga dipengaruhi kegagalan sistem pendidikan kita dalam mengembangkan potensi peserta didik. Sistem pendidikan kita tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan potensi dan hobinya. Banyak bakat anak-anak yang tidak dapat tersalurkan sehingga bakat tersebut mengendap.

Kesimpulan

Bagaimanapun juga, berhasil atau tidaknya sebuah sistem pendidikan harus berdasarkan pada tolak ukur yang jelas. Aspek pertimbangan yang baik tentunya adalah tujuan pendidikan nasional itu sendiri yang telah tertuang dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Dimana ada aspek kemandirian dan keterampilan di dalamnya. Dengan demikian sistem pendidikan yang baik, harus mampu menciptakan individu yang mandiri serta terampil.

Dengan demikian tujuan tersebut belum mampu dicapai sistem pendidikan kita. Hal ini tercermin dari fakta yang telah saya paparkan. Masalah ini harus ditanggapi dengan serius. Karena akan muncul paradigma bahwa proses pendidikan hanya akan membuang waktu dan dana tanpa ada hasil. Jika terus berlarut, akan ada banyak pihak yang tidak percaya terhadap sistem pendidikan yang dibuat pemerintah.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa belum tercapainya tujuan pendidikan bangsa ini disebabkan oleh pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak memenuhi definisi pendidikan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 mengenai pengembangan potensi diri serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik. Masalah ini harus segera dituntaskan untuk kebaikan bangsa ini kedepannya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan alternatif yang kreatif agar mampu melaksanakan pendidikan sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Sehingga pendidikan bangsa ini dapat mencetak generasi-generasi berkualitas yang dapat memajukan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar